Rabu, 15 Oktober 2014

MAKALAH KONSTRUKSI JALAN DI HUTAN

Makalah:

KETEKNIKAN KEHUTANAN

(KONSTRUKSI JALAN DI HUTAN)


 






Rahmat Rum
L 131 10 383





JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2014


I.                   PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang

Peranan keteknikan hutan dalam pengelolaan hutan rakyat sebenarnya sangat penting, tetapi kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang tersebut masih sangat sedikit sehingga peranan yang penting tersebut menjadi belum terrealisasikan di Indonesia. Contoh yang nyata dalam hutan yaitu pembangunan jalan untuk akses pemanfaatan hutan yang lestari.
Perencanaan jalan dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan jalan dengan kerapatan jalan yang minimum tetapi dapat menjangkau seluruh kawasan yang ditebang. Lokasi jalan utama ditentukan dalam rencana strategis, sedangkan jalan cabang dalam rencana taktis. Akan tetapi, rancangan jalan utama dapat dimodifikasi dan diperbaiki sesuai dengan survei topografi sebelum penebangan yang dilaksanakan sewaktu mengadakan perencanaan taktis. Dalam RIL, jalan-jalan hutan harus dibangun denganteknik yang ramah lingkungan untuk menekan erosi tanah dan sedimentasi sungai yang serendah mungkin.
Perencanaan jalan yang benar sangat penting untuk mengurangi kerapatan jalan dan meminimumkan kerusakan tanah. Walaupun vegetasi perlu dibersihkan agar sinar matahari dapat mencapai jalan dan mengeringkannya setelah hujan, jalan harus dibuat dengan lebar minimum tetapi memenuhi persyaratan konstruksi dan pemeliharaan serta memungkinkan pengangkutan kayu dapat dilakukan dengan efisien dan aman . Pengalaman menunjukkan bahwa drainase yang baik lebih penting daripada sinar matahari untuk mengeringkan jalan dengan cepat setelah hujan.

1.2         Rumusan Masalah
1.      Bagamana cara pembuatn kontruksi pembuatan jalan hutan?

II.                PEMBAHASAN

Pembongkaran dan penimbunan tanah harus sesedikit mungkin untuk mengurangi permukaan tanah terbuka yang secara potensial mudah tererosi. Jalan-jalan harus diusahakan jauh dari sungai dan di luar daerah penyangga sungai. Timbunan badan jalan diatas tanah lunak akan mengalami penurunan yang besar dan kemungkinan  runtuh akibat kurangnya daya dukung tanah lunak terhadap beban timbunan. Suatu cara untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah dengan cara penggunaan geotextile yang digelar diatas tanah lunak sebelum pelaksanaan timbunan yang berfungsi sebagai perkuatan (reinforcement). Perkuatan dalam kasus ini hanya bekerja sementara sampai dengan kuat dukung (bearing capacity) tanah lunak meningkat hingga cukup untuk mendukung beban diatasnya. Analisa dengan metoda limit equilibrium akan meninjau tiga modus stabilitas konstruksi timbunan diatas tanah lunak yaitu; stabilitas internal,  stabilitas fondasi tanah lunak dan stabilitas keseluruhan konstruksi (overall stability).
Sebagai studi kasus, disampaikan pelaksanaan jalan diatas tanah lunak dengan perkuatan geotextile di  pulau Setoko dan Nipah di kepulauan Riau. Jalan yang dibangun di daerah ini melewati beberapa dataran rendah yang tertutup tanaman bakau dan terpengaruh pasang surut. Penyelidikan tanah yang dilakukan menunjukkan bahwa lapisan tanah lunak sampai kedalaman 15 m dibawah permukaan tanah.
Pembelokan aliran air:
Selokan di pinggir jalan dan saluran-saluran drainase melintang (cross drains) yang diletakkan dengan jarak yang benar harus dibuat dan dipelihara untuk mengalirkan air dari badan jalan ke vegetasi yang ada di sekitarnya.


Kemiringan jalan:
Kemiringan jalan harus dibuat sedatar mungkin dengan maksimum kemiringan 10- 20%. Bagian – bagian jalan yang kemiringannya mendekati 20% tidak boleh melebihi 500 m panjangnya.
Keterjangkauan (akses):
Pengendalian akses (keterjangkauan) sering merupakan suatu langkah yang sangat penting yang harus diambil oleh manajer hutan untuk melindungi integritas hutan dan hidupan liar yang ada di dalamnya (Fimbel et al., in press). Jadi, sewaktu membuat jaringan jalan angkutan, perencana harus merancang akses ke daerah konsesi hanya melalui beberapa pintu gerbang yang dijaga untuk mencegah  orang-orang yang tidak ada hubungan langsung dengan kegiatan pengelolaan hutan masuk ke daerah penebangan.
Tempat penimbunan (landing) :
Kerapatan tempat penimbunan (TPN) dan luas arealnya dapat dibatasi melalui perencanaan pembuatan jalan dan tempat penimbunan sebelum kegiatan penebangan, serta memanfaatkan informasi topografi dan volume pohon- pohon yang dapat ditebang yang dihasilkan dari survei potensi dan/atau survei topografi. Untuk meminimumkan dampak terhadap lingkungan yang berkaitan dengan tempat penimbunan (atau tempat penyimpanan balok sementara), praktek-praktek berikut harus dilaksanakan dengan pengawasan oleh Petugas Perencanaan dari Tim Pengawas RIL Lapangan:
1. tempat penimbunan dibuat berdampingan dengan jalan;
2. luasnya dibatasi < 0.2 ha (kira-kira 30 x 60 m)
3. hindari pembuatan tempat penimbunan di luar daerah penebangan; dan
4. tempat penimbunan dibuat di punggung bukit untuk memungkinkan penyaradan ke    arah bukit dan menjamin drainase yang baik di lokasi tersebut.
Perencanaan jaringan jalan sarad :
Jalan sarad direncanakan dengan mengikuti analisis data posisi pohon dan topografi yang diperoleh dari survei potensi dan survei topografi. Pencatatan data ke dalam database GIS merupakan suatu keuntungan yang tidak diragukan lagi untuk analisis dan interpretasi data. Analisis data dan perencanaan jaringan jalan sarad merupakan tanggung jawab Petugas Perencanaan dari Tim Pengawas RIL Lapangan. Petugas Inventarisasi Hutan dan Petugas Operasi Penebangan harus diajak konsultasi untuk memperoleh bantuan dan pengarahan teknis. Aturan-aturan berikut dapat dipakai sebagai dasar untuk merancang jalan sarad :
1. Penyaradan tidak diijinkan pada lereng lebih besar dari 30%, juga tidak boleh di     kawasan yang dilindungi atau jalur hijau sungai.
2. Jalan sarad tidak boleh memotong sungai. Bila penyeberangan tidak dapat dihindari, titik-titik penyeberangan harus terlihat jelas pada peta dan harus disetujui setelah diperiksa di lapangan oleh Petugas Perencanaan atau Petugas Inventarisasi Hutan dari Tim Pengawas RIL Lapangan.
3. Jaringan jalan sarad harus dioptimalkan menurut posisi
dan kerapatan pohon yang akan ditebang untuk meminimumkan panjang jalan sarad dalam hutan.
Perencanaan penebangan
Tujuan utama dari penebangan terarah (penebangan dengan arah rebah tertentu, directional felling) adalah untuk menempatkan batang kayu pada posisi yang mudah untuk dikeluarkan. Tujuan yang lain adalah untuk menghindari kerusakan pada pohon-pohon yang direncanakan untuk dapat ditebang pada siklus penebangan berikutnya (yaitu pohon-pohon dengan dbh > 40 cm), pohon-pohon yang dilindungi, dan tegakan tinggal lainnya. Penebangan terarah harus dipakai untuk melindungi pohon-pohon tersebut, yang telah diidentifikasi dan dicatat pada waktu survei potensi. Perencanaan penebangan terarah merupakan tanggung jawab Petugas Perencanaan dari Tim Pengawas RIL Lapangan. Petunjuk utama untuk perencanaan arah rebah adalah:
1. Pohon harus ditebang ke arah atau menjauhi jalan sarad atau kabel sarad dengan sudut miring sekitar 30o terhadap arah penyaradan, kecuali bila pohon-pohon tersebut dapat ditebang langsung ke atas jalan sarad.
2. Bila mungkin, pohon-pohon harus ditebang ke arah rumpang (gap) tajuk yang ada.
3. Pada lereng yang curam, pohon-pohon harus dirobohkan ke arah puncak bukit, kecuali jika pohon sangat berat condongnya ke kaki bukit yang menyebabkan teknik penebangan terarah untuk menarik pohon tersebut ke arah puncak bukit.
4. Pohon-pohon yang berdampingan dengan daerah penyangga sungai harus ditebang sedemikian rupa sehingga tajuk pohon jatuh diluar daerah penyangga tersebut.
5. Prosedur penebangan yang benar harus diterapkan supaya pohon tidak pecah waktu ditebang. Akhirnya, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kemampuan teknik RIL untuk menekan kerusakan terhadap tegakan tinggal sampai 50%, dibandingkan dengan praktek-praktek penebangan secara konvensional, tidak akan dapat dicapai apabila intensitas penebangan > 8 pohon/ha (Bertault dan Sist 1995, 1997; Sist et al. 1998). Di lokasi lain, yang tujuan silvikulturnya dapat berbeda dengan tujuan sistem TPTI, jumlah maksimum pohon/ha yang dapat ditebang dan keefektifan teknik RIL untuk mengurangi dampak penebangan dibandingkan dengan praktek-praktek penebangan konvensional perlu diteliti. Keputusan untuk tidak memasukkan pohon-pohon dengan ukuran tertentu untuk ditebang merupakan tanggung jawab Tim Pengawas RIL Lapangan dan didasarkan pada data yang diperoleh dari survei potensi. Di kawasan yang mempunyai kerapatan pohon yang tinggi, pohon-pohon yang sangat besar, seperti pohon-pohon yang menjulang tinggi, tidak perlu ditebang dan disisakan sebagai pohon inti.
Survei akhir pra-pembalakan RIL :
Sebelum operasi pembalakan dimulai, perlu dilakukan survei akhir pra-pembalakan, yang mencakup kegiatan- kegiatan berikut:
• penandaan jaringan jalan sarad di lapangan dengan jalan sarad yang lebar (2m) dan mudah dilihat dalam hutan (disarankan untuk menggunakan pita berwarna atau tanda-tanda dengan cat di pohon); pembukaan jalan-jalan sarad sebelum penebangan dapat dianggap sebagai suatu alternatif pilihan , dengan keuntungan utama untuk membantu penebang dan pengawas di lapangan ketika mereka harus memeriksa dan menentukan arah rebah yang paling baik dari setiap pohon :
1. pemeriksaan di lapangan untuk menentukan apakah arah rebah yang direncanakan pada peta menurut jaringan jalan sarad dan topografi memungkinkan. Sebelum penebangan, pengawas RIL bersama-sama dengan penebang pergi ke lapangan untuk memeriksa arah kemiringan pohon secara alami yang akan menentukan sektor penebangan 1800.
2. penandaan arah rebah akhir dengan cat pada batang setiap pohon yang akan ditebang; dan
3. penandaan pohon-pohon yang tidak boleh ditebang di kawasan di mana jumlah pohon yang boleh ditebang > 8 pohon/ha. (mengecat kembali lingkaran kuningnya)
Peta taktis dan rencana tertulis :
Inventarisasi dan perencanaan prapenebangan harus memberikan kontribusi kepada pengembangan peta taktis, yang meliputi semua informasi yang diperlukan untuk mencapai operasi pembalakan seperti yang telah ditentukan dalam rencana. Peta taktis ini harus mempunyai skala 1 : 2000 dan memuat informasi sebagai berikut :
• garis kontur ( interval 5 m atau lebih kecil);
• posisi setiap pohon yang akan ditebang, ditandai dengan nomor inventarisasinya;
• arah rebah setiap pohon tersebut;
• lokasi jaringan jalan dan tempat penimbunan (TPN);
• jaringan jalan sarad; dan
• daerah penyangga sungai dan kawasan-kawasan lain yang tidak ditebang.
• Peta taktis tersebut juga harus berisi dokumen tertulis yang berisi rincian teknik setiap kegiatan yang akan dilakukan (pra-penebangan, saat penebangan, dan post penebangan).
Penebangan (tim, peta dan material):
Para penebang harus menggunakan peta taktis pembalakan yang rinci untuk merencanakan pekerjaannya. Efisiensi operasi penebangan dapat ditingkatkan bila setiap hari para penebang mempelajari terlebih dahulu (mereview) keadaan topografi dan informasi posisi pohon yang ada di peta taktis pembalakan sebelum memulai penebangan. Kegiatan ini akan membantu mereka untuk memutuskan urutan pohon yang akan ditebang pada hari tersebut. Operasi penebangan harus dilakukan oleh orang yang terlatih yang dilengkapi dengan alat-alat keselamatan dan menggunakan peralatan yang dipelihara dengan benar. Penebang harus terbiasa dengan teknik pengarahan penebangan, dan perusahaan pembalakan harus memberikan pelatihan kepada penebang yang belum mempunyai ketrampilan di bidang teknik ini sebelumnya. Setiap keputusan untuk menebang pohon dengan arah yang berbeda dari arah yang tercantum dalam rencana pembalakan harus dicatat dan dilaporkan kepada Petugas Perencana dari Tim Pengawas RIL Lapangan.

















III.             KESIMPULAN
Adapun kesmpulan daripada isi makalah ini adalah :
Ilmu keteknikan sangat penting dalam pelaksanaan teknis pembangunan hutan yang berkelanjutan. Keteknikan ini dibutuhkan dalam pengembangan teknologi-teknologi yang maju. Dari awal penanaman hutan di suatu kawasan sudah dibutuhkan perencanaan teknis baik berupa pembuatan jalan maupun pembutan jatah tebang dan lain sebagainya.
Perencanaan jalan dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan jalan dengan kerapatan jalan yang minimum tetapi dapat menjangkau seluruh kawasan yang ditebang. Lokasi jalan utama ditentukan dalam rencana strategis, sedangkan jalan cabang dalam rencana taktis. Akan tetapi, rancangan jalan utama dapat dimodifikasi dan diperbaiki sesuai dengan survei topografi sebelum penebangan yang dilaksanakan sewaktu mengadakan perencanaan taktis. Dalam RIL, jalan-jalan hutan harus dibangun denganteknik yang ramah lingkungan untuk menekan erosi tanah dan sedimentasi sungai yang serendah mungkin.
Peranan keteknikan hutan dalam pengelolaan hutan rakyat sebenarnya sangat penting, tetapi kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang tersebut masih sangat sedikit sehingga peranan yang penting tersebut menjadi belum terrealisasikan di Indonesia. Contoh yang nyata dalam hutan yaitu pembangunan jalan untuk akses pemanfaatan hutan yang lestari.





DAFTAR PUSTAKA



Elias, 2007. Modul 2. Pelatihan Pembukaan Wilayah Hutan, Fakultas Kehutanan,Institut Pertanian Bogor, BogorParsakhoo et al. 2010.
Forest roads Planning and Construction in Iranian  Forestry.
Department of Forestry, Faculty of Natural Resources,Sari Agricultural Sciences and Natural Resources University, Sari, Iran




Tidak ada komentar:

Posting Komentar